FISIOLOGI, KERUSAKAN dan TEKNOLOGI PASCA PANEN ALPUKAT (Persea
americana Mill)
Oleh:
Kartika Candra W. (0811013053)
Kelas: D
JURUSAN
TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS
TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
MALANG
2012
BAB
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris dengan luas lahan
pertanian 7,7 juta hektar sehingga memiliki bermacam- macam hasil produk
hortikultura. Buah- buahan sebagai salah satu komoditi hortikultura memiliki
potensi untuk dikembangkan baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun
luar negeri. Negara tujuan ekspor Indonesia untuk komoditi hortikultura adalah Singapura,
Cina, Taiwan, Hongkong, Belanda, Prancis, Spanyol dan Timur Tengah.
Tanaman alpukat merupakan tanaman buah yang berasal dari dataran rendah atau tinggi
Amerika Tengah. Bagian tanaman alpukat yang banyak
dimanfaatkan adalah buahnya sebagai makanan buah segar. Kandungan alpukat yang tinggi lemak
yakni 6,50- 25,18 gram per 100 gr. Lemak yang terdapat dalam alpukat sebagian
besar berupa asam lemak tak jenuh tunggal yang lebih dibutuhkan oleh manusia. Selain
itu, manfaat lain dari daging buah alpukat adalah untuk bahan dasar kosmetik. Bagian lain yang dapat
dimanfaatkan adalah daunnya yang muda sebagai obat tradisional (obat batu
ginjal, rematik).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 1997- 2010 produktivitas alpukat di Indonesia
mengalami kenaikan yang signifikan yaitu pada tahun 1997 mencapai 129,952 ton
sedangkan tahun 2010 mencapai 225,143 ton. Namun, pada kenyataannya buah
alpukat belum ditangani dengan tepat karena belum diketahui potensinya secara
luas sehingga belum mendapat perhatian yang khusus dari masyarakat.
Diperkirakan lebih dari
30% komoditas buah, sayur, dan bunga segar di Indonesia mengalami kerusakan
setelah sampai di tangan konsumen, akibat penanganan yang kurang baik. Penanganan pasca panen seperti pengangkutan,
sortasi, pengemasan dan penyimpanan yang tidak tepat dapat mempengaruhi tingkat
perubahan mutu komoditi. Penyebab utama kerusakan akibat pasca panen ini dapat berupa kerusakan fisik,
mekanik, biologi, kimia, maupun mikrobiologi. Oleh karena itu, perlunya penanganan
pasca panen yang tepat agar buah alpukat masih dalam kondisi yang baik hingga
ke tangan konsumen.
B. Tujuan
Untuk lebih mengetahui fisiologi pasca panen buah alpukat meliputi pemanenan dan penanganan pasca panen, kerusakan- kerusakan dan teknologi penanganan pasca panen.
Untuk lebih mengetahui fisiologi pasca panen buah alpukat meliputi pemanenan dan penanganan pasca panen, kerusakan- kerusakan dan teknologi penanganan pasca panen.
Rumusan
Masalah
- Bagaimana
fisiologi pasca panen buah alpukat?
- Apa saja
penyebab kerusakan buah alpukat?
- Teknologi pasca
panen apa saja yang diterapkan untuk menjaga mutu buah alpukat?
BAB II. ISI
Produk hortikultura yang telah dipanen dari induk
tanamannya masih melakukan aktivitas metabolisme namun aktivitas metabolismenya
tidaklah sama dengan pada waktu produk tersebut masih melekat pada induknya.
Berbagai macam stress atau gangguan dialaminya mulai dari saat panen,
penanganan pascapanen, distribusi dan pemasaran, ritel dan saat ditangan
konsumen sebelum siap dikonsumsi atau diolah. Stress terjadi karena kondisi
hidupnya tidak pada kondisi normal saat di lapangan. Kondisi stress diakibatkan
oleh perlakuan-perlakuan pascapanennya seperti kondisi suhu, atmosfer, sinar
serta perlakuan-perlakuan fisik diluar batas kehidupan normalnya. Stress adalah
gangguan, hambatan atau percepatan proses metabolisme normal sehingga dipandang
tidak menyenangkan atau suatu keadaan negatif.
Produk tanaman yang telah dipanen, tidak hanya
menjadi subjek stress mekanis saat dilepaskan dari tanaman induknya tetapi juga
subjek dari satu seri stress selama periode pascapanennya. Sebagai
konsekwensinya, periode pascapanen dapat dipandang sebagai peiode manajemen
stress. Pasca panen merupakan kegiatan
penting setelah pemanenan yang bertujuan agar hasil tanaman tersebut dalam
kondisi baik dan sesuai atau tepat untuk dapat segera dikonsumsi atau untuk
bahan baku pengolahan.
Penanganan
pasca panen buah alpukat (Persea americana Mill) yang umumnya
dikonsumsi segar dan mudah “rusak” (perishable), bertujuan
mempertahankan kondisi segarnya dan mencegah perubahan-perubahan yang tidak
dikehendaki selama penyimpanan, seperti buah keriput, terlalu matang,
dll. Penanganan pasca panen yang baik akan menekan kehilangan (losses),
baik dalam kualitas maupun kuantitas, yaitu mulai dari penurunan kualitas
sampai komoditas tersebut tidak layak pasar (not marketable) atau tidak
layak dikonsumsi. Perubahan-perubahan yang terjadi pada pasca panen hasil
tanaman tidak dapat dihentikan, tetapi hanya dapat diperlambat. Keberhasilan
penanganan pasca panen sangat ditentukan dari tindakan awalnya, yaitu panen dan
penanganan pasca panen yang baik harus dimulai sedini mungkin, yaitu segera
setelah panen.
a. Fisiologis Alpukat
Klasifikasi lengkap tanaman alpukat adalah sebagai
berikut:
Divisi : Spermatophyta
Anak divisi :
Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Ranales
Keluarga : Lauraceae
Marga : Persea
Varietas : Persea
americana Mill
Berdasarkan sifat
ekologis, tanaman alpukat terdiri dari 3 tipe keturunan atau ras, yaitu ras
Meksiko, ras Guatemala, ras Hindia Barat. Sedangkan varietas alpukat di
Indonesia dapat digolongkan menjadi dua, yaitu varietas unggul dan varietas
lain.Varietas unggul memiliki sifat antara lain produksinya tinggi, toleran
terhadap hama dan penyakit, buah seragam berbentuk oval dan berukuran sedang,
daging buah berkualitas baik dan tidak berserat, berbiji kecil melekat pada
rongga biji, serta kulit buahnya licin. Sampai dengan tanggal 14 Januari 1987,
Menteri Pertanian telah menetapkan 2 varietas alpukat unggul, yaitu alpukat hijau panjang dan hijau bundar.Varietas lain adalah
alpukat merah panjang, merah bundar, dickson, butler, winslowson, benik,
puebla, furete, collinson, waldin, ganter, mexcola, duke, ryan, leucadia, queen
dan edranol.
1. Panen
1.
1 Ciri dan Umur Panen
Cara penentuan waktu panen yaitu
dengan menentukan “kematangan” yang tepat dan saat panen yang sesuai, yaitu:
· Cara
visual atau
penampakan : misal dengan melihat warna kulit, bentuk buah, ukuran, perubahan
bagian tanaman seperti daun mengering dan lain-lain. Buah alpukat masak secara
visual bila warna kulit buah tua tapi belum menjadi coklat, dan tidak
mengkilap.
· Cara
fisik : misal
dengan perabaan, buah lunak, umbi keras, buah mudah dipetik dan
lain-lain. Buah alpukat masak bila buah diketuk dengan punggung kuku,
menimbulkan bunyi yang nyaring, dan bila buah digoyang-goyang, akan terdengar
goncangan biji.
· Cara
komputasi, yaitu
menghitung umur tanaman sejak tanam atau umur buah dari mulai bunga mekar. Buah
alpukat biasanya tua setelah 6-7 bulan dari saat bunga mekar.
· Cara
kimia, yaitu
dengan melakukan pengukuran atau analisis kandungan zat atau senyawa yang ada
dalam komoditas. Untuk buah alpukat yang akan di ekspor biasanya kadar lemak
minimal aplukat sebesar 8%, Sedangkan buah alpukat lokal kadar lemak tidak terlalu
diperhatikan.
1.2 Cara Panen
Umumnya memanen buah alpukat
dilakukan secara manual, yaitu dipetik menggunakan tangan. Apabila kondisi
fisik pohon tidak memungkinkan untuk dipanjat, maka panen dapat dibantu dengan
menggunakan alat atau galah yang diberi tangguk kain atau goni pada ujungnya
atau tangga. Saat dipanen, buah harus dipetik atau dipotong bersama sedikit
tangkai buahnya (3-5 cm) untuk mencegah memar, luka/infeksi pada bagian dekat
tangkai buah.
1.3
Periode Panen
Biasanya
alpukat mengalami musim berbunga pada awal musim hujan, dan musim berbuah
lebatnya biasanya pada bulan Desember, Januari, dan Februari. Di Indonesia yang
keadaan alamnya cocok untuk pertanaman alpukat, musim panen dapat terjadi
setiap bulan.
1.4
Prakiraan Produksi
Produksi
buah alpukat pada pohon-pohon yang tumbuh dan berbuah baik dapat mencapai 70-80
kg/pohon/tahun. Produksi rata-rata yang dapat diharapkan dari setiap pohon
berkisar 50 kg.
2.
Pasca Panen
2.1 Pencucian
Pencucian
dimaksudkan untuk menghilangkan segala macam kotoran yang menempel sehingga
mempermudah penggolongan atau penyortiran. Cara pencucian tergantung pada
kotoran yang menempel.
2.2 Penyortiran
Penyortiran
buah dilakukan sejak masih berada di tingkat petani, dengan tujuan memilih buah
yang baik dan memenuhi syarat, buah yang diharapkan adalah yang memiliki ciri
sebagai berikut:
1. Tidak cacat, kulit buah harus mulus tanpa
bercak.
2. Cukup tua tapi belum matang.
3. Ukuran buah seragam. Biasanya dipakai standar
dalam 1 kg terdiri dari 3 buah atau berbobot maksimal 400 g.
4. Bentuk buah seragam. Pesanan paling banyak
adalah yang berbentuk lonceng.
Buah yang banyak diminta importir untuk konsumen luar negeri adalah buah
alpukat yang dagingnya berwarna kuning mentega tanpa serat. Sedangkan untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri, semua syarat tadi tidak terlalu
diperhitungkan.
2.3
Grading dan Standartisasi
Grading adalah pemilahan berdasarkan kelas
kualitas. Biasanya dibagi dalam kelas 1, kelas 2, kelas 3 dan seterusnya.
Tujuan dari tindakan grading ini adalah untuk memberikan nilai lebih (harga
yang lebih tinggi) untuk kualitas yang lebih baik. Untuk buah alpukat,
berdasarkan beratnya dapat digolongkan dalam 3 macam ukuran, yaitu:
a) Alpukat besar: 451 – 550 gram/ buah
b) Alpukat sedang : 351 – 450 gram/
buah
c) Alpukat kecil : 250 – 350 gram/ buah
Standarisasi merupakan ketentuan mengenai
kualitas atau kondisi komoditas berikut kemasannya yang dibuat untuk kelancaran
tataniaga/pemasaran. Standarisasi pada dasarnya dibuat atas persetujuan antara
konsumen dan produsen, dapat mencakup kelompok tertentu atau wilayah atau
Negara atau daerah pemasaran tertentu. Standar mutu buah alpukat diterangkan
pada Table 1.
Tabel 1. Standar Mutu I dan Mutu I Buah Alpukat
Kriteria mutu
|
Mutu I
|
Mutu II
|
|
Kesamaan sifat varietas
|
Seragam
|
Seragam
|
|
Tingkat ketuaan
|
Tua, tidak terlalu matang
|
Tua, tidak terlalu matang
|
|
Bentuk
|
Normal
|
Kurang Normal
|
|
Tingkat kekerasan
|
Keras
|
Keras
|
|
Ukuran
|
Seragam
|
Kurang seragam
|
|
Tingkat kerusakan
maksimum (%)
|
5,0
|
10,0
|
|
Kadar kotoran
|
1,0
|
2,0
|
|
Tingkat pembusukan
maksimum (%)
|
Bebas
|
Bebas
|
|
Sumber: BPPT, 2005
Keterangan:
a) Kesamaan sifat varietas
Dinyatakan seragam apabila dalam
satu lot buahnya sama dalam hal bentuk, tekstur, warna daging buah, dan warna
kulit buah.
b) Tingkat
ketuaan
Dinyatakan tua apabila telah
mencapai tingkat pertumbuhan yang menjamin dapat tercapainya proses kematangan
yang sempurna. Dinyatakan terlalu matang apabila daging buah lunak atau telah
berubah warna dan dianggap telah lewat waktu pemasarannya.
c) Bentuk
Dinyatakan normal apabila bentuknya
normal menurut varietasnya. Dinyatakan kurang normal apabila bentuknya agak
menyimpang dari bentuk normal menurut varietasnya, tetapi tidak mempengaruhi
kenampakannya.
d) Kekerasan
Dinyatakan keras apabila buah terasa
cukup keras saat ditekan sedikit dengan jari tangan (tidak lunak), meskipun
kulit sedikit lemas tetapi tidak keriput.
e) Ukuran
Dinyatakan seragam apabila dalam
satu lot berukuran seragan menurut golongan ukurannya berdasarkan berat perbuah
yang telah ditentukan, dengan toleransi maksimum 5 %. Dinyatakan kurang seragam
apabila dalam satu lot berukuran tidak seragam menurut golongan ukurannya
berdasarkan berat buah yang telah ditentukan, dengan toleransi maksimum 10 %.
f) Kotoran
Dinyatakan bebas bersih apabila
bebas dari kotoran atau benda asing lainnya seperti tanah, bahan tanaman, dan
lain- lain yang menempel pada buah atau pada kemasan yang dapat mempengaruhi
kenampakannya. Bahan penyekat (pembungkus) tidak dianggap sebagai kotoran.
g) Kerusakan
Dinyatakan rusak apabila mengalami
kerusakan biologis, fisiologis, mekanis, dan sebab-sebab lain yang mengenai 10
% atau lebih dari permukaan buah.
h) Pembusukan
Dinyatakan busuk apabila mengalami
kerusakan atau cacat seperti tersebut diatas sedemikian rupa sehingga daging buahnya
tidak dapat dipergunakan (BPPT,
2005).
2.4
Pemeraman dan Penyimpanan
Alpukat
baru dapat dikonsumsi bila sudah masak. Untuk mencapai tingkat kemasan ini
diperlukan waktu sekitar 7 hari setelah petik (bila buah dipetik pada saat
sudah cukup ketuaannya). Bila tenggang waktu tersebut akan dipercepat, maka
buah harus diperam terlebih dulu. Untuk keperluan ekspor, tidak perlu dilakukan
pemeraman karena tenggang waktu ini disesuaikan dengan lamanya perjalanan untuk
sampai di tempat tujuan. Cara pemeraman alpukat masih sangat sederhana. Pada
umumnya hanya dengan memasukkan buah ke dalam karung goni, kemudian ujungnya
diikat rapat. Setelah itu karung diletakkan di tempat yang kering dan bersih.
Karena
alpukat mempunyai umur simpan hanya sampai sekitar 7 hari (sejak petik sampai
siap dikonsumsi), maka bila ingin memperlambat umur simpan tersebut dapat
dilakukan dengan menyimpannya dalam ruangan bersuhu 5 derajat C. Dengan cara
tersebut, umur penyimpanan dapat diperlambat samapai 30-40 hari.
2.5 Pengemasan dan
Pengangkutan
Kemasan
adalah wadah/tempat yang digunakan untuk mengemas suatu komoditas. Kemasan
untuk pasar lokal berbeda dengan yang untuk diekspor. Untuk pemasaran di dalam
negeri, buah alpukat dikemas dalam karung-karung plastik/keranjang, lalu diangkut
dengan menggunakan truk. Sedangkan kemasan untuk ekspor berbeda lagi, yaitu
umumnya menggunakan kotak karton berkapasitas 5 kg buah alpukat. Sebelum
dimasukkan ke dalam kotak karton, alpukat dibungkus kertas tissue, kemudian
diatur sususannya dengan diselingi penyekat yang terbuat dari potongan karton.
b.
Kerusakan
Alpukat
1.
Kerusakan
Biologi
Kerusakan biologis pada bahan nabati seperti buah-buahan
dan sayuran disebabkan oleh adanya respirasi, produksi etilen, transpirasi, dan
faktor morfologis atau anatomis, serta suhu atau cahaya yang berlebihan, dan
kerusakan patologis atau kerusakan fisik.
Komoditi dengan laju respirasi tinggi menunjukkan
kecenderungan lebih cepat rusak. Pengurangan laju respirasi sampai batas
minimal pemenuhan kebutuhan energi sel tanpa menimbulkan fermentasi akan dapat
memperpanjang umur ekonomis produk nabati. Manipulasi faktor ini dapat
dilakukan dengan teknik pelapisan (coating), penyimpanan suhu rendah, atau
memodifikasi atmosfir ruang penyimpan.
Transpirasi adalah pengeluaran air dari dalam
jaringan produk nabati. Laju transpirasi
dipengaruhi
oleh faktor internal (morfologis/anatomis, rasio permukaan terhadap volume, kerusakan
fisik, umur panen) dan faktor eksternal (suhu, RH, pergerakan udara dan tekanan
atmosfir). Transpirasi yang berlebihan menyebabkan produk mengalami pengurangan
berat, daya tarik (karena layu), nilai tekstur dan nilai gizi. Pengendalian
laju transpirasi dilakukan dengan pelapisan, penyimpanan dingin, atau
memodifikasi atmosfir.
(Ir. I Made S. Utama, MS.,PhD., Forum Konsultasi Teknologi)
Etilen adalah senyawa organik sederhana yang dapat
berperan sebagai hormon yang mengatur pertumbuhan, perkembangan, dan kelayuan.
Keberadaan etilen akan mempercepat tercapainya tahap kelayuan (senesence),
oleh sebab itu untuk tujuan pengawetan senyawa ini perlu disingkirkan dari
atmosfir ruang penyimpan dengan cara menyemprotkan enzim penghambat produksi
etilen pada produk, atau mengoksidasi etilen dengan KMnO4 atau ozon.
(Ir. I Made S. Utama, MS.,PhD., Forum Konsultasi Teknologi)
2.
Kerusakan Patologis dan Kerusakan Fisik
Kerusakan produk nabati dapat terjadi karena
aktivitas bakteri atau jamur, dan akibat
serangan
mikroorganisme ini timbul kerusakan fisik dan fisiologis. Sebaliknyapun akibat kerusakan
fisik karena penanganan yang tidak benar bisa juga memicu pertumbuhan mikroorganisme.
2.1
Hama pada Daun
1)
Ulat kipat (Cricula trisfenestrata
Helf)
Ciri:
Panjang tubuh 6 cm, berwarna hitam bercak-bercak putih dan dipenuhi rambut
putih. Kepala dan ekor berwarna merah menyala.
Gejala:
Daun-daun tidak utuh dan terdapat bekas gigitan. Pada serangan yang hebat, daun
habis sama sekali tetapi tanaman tidak akan mati, dan terlihat kepompong
bergelantungan.
Pengendalian:
Menggunakan insektisida yang mengandung bahan aktif monokrotofos atau
Sipermetein, misal Cymbush 50 EC dengan dosis 1-3 cc/liter atau Azodrin 15 WSC
dengan dosis 2-3 cc/liter.
2)
Ulat kupu-kupu gajah (Attacus atlas L.)
Ciri:
Sayap kupu-kupu dapat mencapai ukuran 25 cm dengan warna coklat kemerahan dan
segitiga tansparan. Ulat berwarna hijau tertutup tepung putih, panjang 15 cm
dan mempunyai duri yang berdaging. Pupa terdapat di dalam kepompong yang
berwarna coklat.
Gejala:
Sama dengan gejala serangan ulat kipat, tetapi kepompong tidak bergelantungan
melainkan terdapat di antara daun.
Pengendalian:
Sama dengan pemberantasan ulat kipat.
3)
Aphis gossypii Glov/A.
Cucumeris, A. cucurbitii/Aphis kapas.
Ciri:
Warna tubuh hijau tua sampai hitam atau kunig coklat. Hama ini mengeluarkan
embun madu yang biasanya ditumbuhi cendawan jelaga sehingga daun menjadi hitam
dan semut berdatangan.
Gejala:
Pertumbuhan tanaman terganggu. Pada serangan yang hebat tanaman akan kerdil dan
terpilin.
Pengendalian:
Disemprot dengan insektisida berbahan aktif asefat/dimetoat, misalnya Orthene
75 SP dengan dosis 0,5-0,8 gram/liter atau Roxion 2 cc/liter.
4)
Kutu dompolan putih (Pseudococcus
citri Risso)/Planococcus citri Risso
Ciri:
Bentuk tubuh elips, berwarna coklat kekuningan sampai merah oranye, tertutup
tepung putih, ukuran tubuh 3 mm, mempunyai tonjolan di tepi tubuh dengan jumlah
14-18 pasang dan yang terpanjang di bagian pantatnya.
Gejala:
Pertumbuhan tanaman terhambat dan kurus. Tunas muda, daun, batang, tangkai
bunga, tangkai buah, dan buah yang terserang akan terlihat pucat, tertutup
massa berwarna putih, dan lama kelamaan kering.
Pengendalian:
Disemprot dengan insektisida yang
mengandung bahan aktif formotion, monokrotofos, dimetoat, atau karbaril.
Misalnya anthion 30 EC dosis 1-1,5 liter/ha, Sevin 85 S dosis 0,2% dari
konsentrasi fomula.
5) Tungau merah (Tetranychus
cinnabarinus Boisd)
Ciri:
Tubuh tungau betina berwarna merah tua/merah kecoklatan, sedangkan tungau
jantan hijau kekuningan/kemerahan. Terdapat beberapa bercak hitam, kaki dan
bagian mulut putih, ukuran tubuh 0,5 mm.
Gejala:
Permukaan daun berbintik-bintik kuning yang kemudian akan berubah menjadi merah
tua seperti karat. Di bawah permukaan daun tampak anyaman benang yang halus.
Serangan yang hebat dapat menyebabkan daun menjadi layu dan rontok. Pengendalian:
Disemprot dengan akarisida Kelthan MF yang mengandung bahan aktif dikofol dan,
dengan dosis 0,6-1 liter/ha.
2.2
Hama pada Buah
1)
Lalat buah Dacus (Dacus dorsalis
Hend.)
Ciri:
Ukuran tubuh 6 - 8 mm dengan bentangan sayap 5 - 7 mm. Bagian dada berwarna
coklat tua bercak kuning/putih dan bagian perut coklat muda dengan pita coklat
tua. Stadium larva berwarna putih pada saat masih muda dan kekuningan setelah
dewasa, panjang tubuhnya 1 cm.
Gejala:
Terlihat bintik hitam atau bejolan pada permukaan buah, yang merupakan tusukan
hama sekaligus tempat untuk meletakkan telur. Bagian dalam buah berlubang dan
busuk karena dimakan larva.
Pengendalian:
Dengan umpan minyak citronella/umpan protein malation akan mematikan lalat yang
memakannya. Penyemprotan insektisida dapat dilakukan antara lain dengan
Hostathion 40 EC yang berbahan aktif triazofos dosis 2 cc/liter dan tindakan
yang paling baik adalah memusnahkan semua buah yang terserang atau membalik
tanah agar larva terkena sinar matahari dan mati.
2) Codot
(Cynopterus sp)
Ciri:
Tubuh seperti kelelawar tetapi ukurannya lebih kecil menyerang buahbuahan pada
malam hari.
Gejala:
Terdapat bagian buah yang berlubang bekas gigitan. Buah yang terserang hanya
yang telah tua, dan bagian yang dimakan adalah daging buahnya saja.
Pengendalian:
Menangkap codot menggunakan jala/menakut-nakutinya menggunakan kincir angin
yang diberi peluit sehingga dapat menimbulkan suara.
2.3
Hama pada Cabang atau Ranting
1)
Kumbang bubuk cabang (Xyleborus coffeae Wurth / Xylosandrus morigerus Bldf).
Ciri:
Kumbang yang lebih menyukai tanaman kopi ini berwarna coklat tua dan berukuran
1,5 mm. Larvanya berwarna putih dan panjangnya 2 mm.
Gejala:
Terdapat lubang yang menyerupai terowongan pada cabang atau ranting. Terowongan
itu dapat semakin besar sehingga makanan tidak dapat tersalurakan ke daun,
kemudian daun menjadi layu dan akhirnya cabang atau ranting tersebut mati. Pengendalian:
Cabang/ranting yang terserang dipangkas dan dibakar. Dapat juga disemprot
insektisida berbahan aktif asefat atau diazinon yang terkandung dalam Orthene
75 SP dengan dosis pemberian 0,5-0,8 gram/liter dan Diazinon 60 EC dosis 1-2
cc/liter.
2.4
Penyakit yang disebabkan Jamur
1)
Antraknosa
Penyebab:
Jamur Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) sacc. Yang mempunyai
miselium berwarna cokleat hijau sampai hitam kelabu dan sporanya berwarna
jingga.
Gejala:
Penyakit ini menyerang semua bagian tanaman, kecuali akar. Bagian yang
terinfeksi berwarna cokelat karat, kemudian daun, bunga, buah/cabang tanaman
yang terserang akan gugur.
Pengendalian:
Pemangkasan ranting dan cabang yang mati. Penelitian buah dilakukan agak awal
(sudah tua tapi belum matang). Dapat juga disemprot dengan fungisida yang
berbahan aktif maneb seperti pada Velimex 80 WP. Fungisida ini diberikan 2 minggu
sebelum pemetikan dengan dosis 2-2,5 gram/liter.
2) Bercak daun atau bercak cokelat
Penyebab:
cercospora purpurea Cke./dikenal juga dengan Pseudocercospora
purpurea (Cke.) Derghton. Jamur ini berwarna gelap dan menyukai tempat
lembab.
Gejala:
bercak cokelat muda dengan tepi cokelat tua di permukaan daun atau buah. Bila
cuaca lembab, bercak cokelat berubah menjadi bintik-bintik kelabu. Bila
dibiarkan, lama-kelamaan akan menjadi lubang yang dapat dimasuki organisme
lain.
Pengendalian:
Penyemprotan fungisida Masalgin 50 WP yang mengandung benomyl, dengan dosis 1-2
gram/liter atau dapat juga dengan mengoleskan bubur Bordeaux.
3)
Busuk akar dan kanker batang
Penyebab:
Jamur Phytophthora yang hidup saprofit di tanah yang mengandung bahan organik,
menyukai tanah basah dengan drainase jelek.
Gejala:
Bila tanaman yang terserang akarnya maka pertumbuhannya menjadi terganggu,
tunas mudanya jarang tumbuh. Akibat yang paling fatal adalah kematian pohon. Bila batang tanaman yang terserang maka akan
tampak perubahan warna kulit pada pangkal batang.
Pengendalian:
drainase perlu diperbaiki, jangan sampai ada air yang menggenang/dengan
membongkar tanaman yang terserang kemudian diganti dengan tanaman yang baru.
4)
Busuk buah
Penyebab:
Botryodiplodia theobromae pat. Jamur ini menyerang apabila ada lukapada
permukaan buah.
Gejala:
Bagian yang pertama kali diserang adalah ujung tangkai buah dengan tanda adanya
bercak cokelat yang tidak teratur, yang kemudian menjalar ke bagian buah. Pada
kulit buah akan timbul tonjolan-tonjolan kecil.
Pengendalian:
Oleskan bubur Bordeaux/ semprotkan fungisida Velimex 80 WP yang berbahan aktif
Zineb, dengan dosis 2-2,5 gram/liter.
3. Kerusakan Oleh Sensitivitas Terhadap Suhu
Ekspose komoditi pada suhu yang tidak sesuai akan
menyebabkan kerusakan fisiologis yang bisa berupa : (1) Freezing injuries karena
produk disimpan di bawah suhu bekunya; (2) Chilling injuries umum pada
produk tropis yang disimpan di atas suhu beku dan
diantara
5 – 15 oC tergantung sensitivitas komoditi; (3) Heat injuries terjadi
karena ekspose sinar matahari atau panas yang berlebihan. Untuk menjaga
mutunya, produk-produk hortikultura (buah-buahan dan sayuran) memerlukan suhu
penyimpanan tertentu, seperti terlihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Penyimpanan
beberapa buah-buahan dan sayur-sayuran pada suhu rendah
Kulit
alpukat sering berbintik-bintik hitam dan pada dagingnya sering terjadi
perubahan warna terutama di sekitar biji dan pada serat-serat daging buah.
Untuk mencegah hal tersebut buah alpukat yang masih keras atau belum masak
sebaiknya disimpan pada suhu 7.5°C. Sedangkan buah yang sudah masak dapat
disimpan pada suhu sekitar 0°C.
c. Teknologi Pasca Panen Alpukat
1.
Pelilinan
Lapisan
lilin berfungsi sebagai lapisan pelindung terhadap kehilangan air yang terlalu
banyak dari komoditaas akibat penguapan dan mengatur kebutuhan oksigen untuk
respirasi, sehingga dapat mengurangi kerusakan buah yang telah dipanen akibat
proses respirasi (Roosmani, 1975). Dengan demikian lapisan lilin dapat menekan
respirasi dan transpirasi yang terlalu cepat dari buah-buahan dan sayur-sayuran
segar. Konsentrasi lilin optimal untuk produk hortikultura dapat dilihat pada
Table 5.
Tabel 5. Konsentrasi Emulsi Lilin
Optimal Pada Beberapa Komoditas Hortikultura.
Komoditas
|
Konsentrasi lilin optimal (%)
|
Alpukat
|
4
|
Apel
|
8
|
Mangga Alphonso
|
6
|
Jeruk
|
12
|
Nanas
|
6
|
Pepaya
|
6
|
Pisang Raja
|
9
|
Sumber: Balai Penelitian
Hortikultura dalam Chotimah 2008
Pelapisan
lilin pada buah-buahan pada umumnya menggunakan lilin lebah yang dibuat dalam
bentuk emulsi lilin dengan konsentrasi 4%- 12%. Komposisi dasar lilin 12% dapat
dilihat pada table 6. Sedangkan kepekatan emulsi lilin yang ideal untuk buah
alpukat adalah emulsi lilin 4%. Untuk membuat lapisan lilin 4% dilakukan
pencampuran emulsi lilin 12% dengan 2 liter air.
Tabel 6. Komposisi Dasar Emulsi
Lilin 12%
Bahan Dasar
|
Komposisi
|
Lilin lebah
|
120 mililiter
|
Trietanolamin
|
40 mililiter
|
Asam oleat
|
20 mililiter
|
Air panas
|
820 mililiter
|
Sumber: Balai Penelitian Hortikultura dalam Chotimah 2008
Pembuatan
emulsi lilin standar dilakukan dengan cara memanaskan 120 ml lilin dalam panic
(90-950C). Asam oleat sebanyak 20 ml ditambahkan kedalam cairan
lilin dengan menuangkannya secara perlahan dan diaduk sahingga merata. Kemudian
ditambahkan trietanolamin sebanyak 40 ml dan terus diaduk dengan suhu
dipertahankan stabil. Campuran yang telah terbentuk dibiarkan dan didinginkan
selama 10 menit, kemudian ditambahkan air sehingga volume mencapai 1 liter.
Tabel 7. Formulasi Pengenceran
Emulsi Lilin
Emulsi lilin (%)
|
Perbandingan volume
(Emulsi 12% : Air dalam liter)
|
2
|
1:5
|
4
|
1:2
|
6
|
1:1
|
8
|
1:0,5
|
10
|
1:0,2
|
Sumber:
Balai Penelitian Hortikultura dalam Chotimah 2008
Sehingga
dapat diketahui bahwa untuk membuat emulsi lilin 4% maka emulsi lilin 12%
(standar) ditambahkan dengan 2 liter air.
Tebal
lapisan lilin harus seoptimal mungkin. Jika lapisan terlalu tipis maka usaha
dalam menghambatkan respirasi dan transpirasi kurang efektif. Jika lapisan
terlalu tebal maka kemungkinan hampir semua pori-pori tertutup. Apabila semua
pori-pori tertutup maka akan mengkibatkan terjadinya respirasi anaerob, yaitu
respirasi yang terjadi tanpa menggunakan O2 sehingga sel melakukan
perombakan di dalam tubuh buah itu sendiri yang dapat mengakibatkan proses
pembusukan lebih cepat dari keadaan yang normal (Roosmani, 1975). Pemberian
lapisan lilin dapat dilakukan dengan penghembusan, penyemprotan, pencelupan (30
detik) atau pengolesan (Pantastico, 1986).
2.
Perlakuan Panas
Secara
normal buah dan sayur tidak akan rusak pada perlakuan panas dengan suhu 42-600C,
namun banyak faktor yang mempengaruhinya seperti kematangan, jenis, ukuran
buah, dan kararakteristik morfologinya serta lama perlakuan. Suhu dan waktu
adalah dua hal penting yang harus diperhatikan untuk membunuh hama-hama tanpa
menyebabkan kerusakan. Pada buah alpukat, perlakuan panas dapat dilakukan
dengan cara penyemprotan ataupun pencelupan dalam air panas. Perlakuan panas
sebaiknya dilakukan pada suhu 450C selama 20 menit. Hal ini
dilakukan agar spora, telur, ataupun larva yang telah terinvestasi dalam buah
dapat hilang dan tidak merusak lapisan lilin pada buah alpukat.
- Modifikasi Komposisi Udara dan
Penyimpanan Suhu Rendah
Teknik
penyimpanan CAS merupakan penemuan yang sangat penting dalam sistem pasca panen
hasil hortikultura buah dan sayuran. Teknik ini bila dikombinasikan dengan
teknik pendinginan akan mampu mencegah aktivitas pernapasan dan mungkin akan
dapat menghambat prsoes pengempukan, penguningan dan kemunduran mutu.
Suhu
udara dalam CAS dapat diatur dan dipertahankan dengan menempatkan komoditi tersebut
dalam ruang yang kedap udara. Karena terjadi pernapasan dan konsentrasi O2
menurun, kadar CO2 dapat juga diatur menurut dosis yang dikehendaki
dengan cara penggunaan senyawa penyerap CO2 biasanya digunakan NaOH bila
konsentrasi CO2 meningkat tinggi sekali. Cara lain yaitu dengan menghembuskan udara yang konsentrasi
gas-gasnya telah diatur khususnya CO2, N2 dan O2
ke dalam ruang penyimpanan.
Kondisi
penyimpanan CAS untuk beberapa jenis komoditi tidak sama. Kadar dan Moris
(19/17) telah menyarankan suatu pedoman yang menunjukkan batas toleransi
komoditi hortikultura terhadap kadar CO2 tinggi
dan O2
rendah,
khususnya terbatas pada suhu penyimpanan tertentu, seperti ketentuan untuk
alpukat yaitu:
[O2 ] = 3 – 5%; [CO2] = 3 – 5%; suhu 5 - 7°C;
umur simpan bertambah 1 bulan.
BAB III. PENUTUP
a.
Kesimpulan
o
Pasca
panen merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan setelah komoditas pertanian
selesai dipanen dengan tujuan untuk mempertahankan mutu dan kesegaran buah
alpukat hingga sampai ke tangan konsumen.
o
Tindakan
pasca panen alpukat yang baik harus didasarkan pada 2 hal penting yakni waktu
pemanenan dilihat secara visual, fisik, maupun menghitung umur panennya dan
teknik pemanenan yang baik dengan menggunakan tangan atau dipetik.
o
Kegiatan
penanganan pasca panen buah alpukat meliputi pencucian, sortasi, gradding dan
standartisasi, penyimpanan, pengemasan dan pengangkutan.
o
Teknologi perlakuan pasca panen dengan
pelilinan, pemanasan dan modifikasi komposisi udara dan penyimpanan.
DAFTAR PUSTAKA
BPPT. 2005.
Alpukat (Persea Americana,
Mill). http://www.ristek.go.id.
Diakses pada tanggal 15 Mei 2012.
Pantastico,E.B.
1986. Fisiologi Pascapanen, Penanganan
dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika.
Peneerjemah Kamaryani. UGM Press. Yogyakarta.
Roosmani,
A.B. 1975. Percobaan Pendahuluan
Terhadap Buah-buahan dan Sayur-sayuran Indonesia. Buletin
Penelitian Hortikutura LPH Pasar Minggu. 3 (2): 17-21. Jakarta.
Santoso.
2006. Teknologi Pengawetan Bahan Segar.
http://www.deptan.go.id/pesantren/agri-online/phguides/indo/alpukat.htm
Diakses pada tanggal 13 Mei 2012.
Utama, I Made Supartha. 2010. Pengendalian
Organisme Pengganggu Pascapanen Produk Hortikultura dalam Mendukung GAP http://staff.unud.ac.id/~madeutama/wp-content/uploads/2009/06/2-pengendalian-organisme-pengganggu-pascapanen-produk-hortikultura-dalam-mendukung-gap.pdf
Diakses pada tanggal 13 Mei 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar